AFB - Suatu ketika Rasulullah SAW berjalan di Kota Makkah. Beliau melihat seorang wanita tua menunggu seseorang yang bisa dimintai tolong membawakan barangnya.
Benar saja, begitu Rasulullah lewat di depan nya, ia memanggil, “Ya ahlal Arab! Tolong bawakan barang ini, nanti akan kubayar.” Rasulullah SAW sengaja lewat di hadapan nenek itu karena bermaksud hendak menolong nya.
Maka, ketika Rasulullah menghampirinya, beliau segera mengangkat barang-barang itu seraya berkata, “Aku akan mengangkatkan barangmu tanpa bayaran.” Nenek tua itu amat senang mendengar perkataan tersebut karena selama ini amat jarang orang membantu nya tanpa pamrih.
Biasa nya, walaupun tidak meminta, tetapi jika dia memberi bayaran, orang dengan senang hati akan menerimanya. Dia pandangi wajah Nabi Muhammad yang bersih dan teduh. Dia yakin anak muda yang menolong nya kini adalah seorang pemuda yang berbudi luhur.
Di tengah perjalanan wanita itu menasihati Rasul. “Kabarnya di Kota Makkah ini ada seorang yang mengaku nabi, nama nya Muhammad. Hati-hatilah engkau dengan orang itu. Jangan sampai engkau terpedaya dan mempercayai nya.”
Nenek tua itu sama sekali tidak tahu bahwa pemuda yang menolong nya dan kini bersama nya adalah Nabi Muhammad, sang nabi. Maka, Rasul SAW berkata kepadanya, “Aku ini Muhammad...” Nenek tua itu terperangah mengetahui pemuda yang menolongnya ada lah Muhammad yang diceritakannya.
Maka, pada saat itu juga nenek itu langsung meminta maaf dan bersyahadat. Ia pun kemudian memuji akhlak Rasul. “Sungguh engkau memiliki akhlak yang luhur.”
Narasi ini hanya buih kecil dari samudra nan luas dari pesona akhlak yang dimiliki sang junjungan Nabi SAW. Sifat luhur ini pula lah yang mulai tergerus oleh gelegak zaman yang terus menerus mengobarkan sifat egoistis dan individualistis.
Di zaman modern ini, banyak orang yang tampak sangat pelit untuk menolong sesama. Kalau pun mau, itu dilakukan karena pamrih (ingin balasan). Padahal, manis dan indah nya kehidupan justru ketika satu sama lain saling memberi dan mau berkorban, lalu mengisinya dengan cinta. Semangat berkorban dan memberi itu merupakan ruh dari etika Islam.
Misalnya kita belum disebut silaturahim kalau hanya membalas kunjungan seseorang, atau memberi sesuatu kepada orang yang pernah memberi kita.
“Penyambung tali kerabat (silaturahim) itu bukan orang yang membalas (hubungan) serupa, melainkan penyambung tali kerabat adalah orang yang jika sanak keluarganya memutuskan hubung n dengannya, ia justru menyambungkan-nya.” (HR Bukhari).
Rasulullah SAW sudah mengajarkan kita prinsip hidup teramat agung. Contohnya, segala kesukaran harus dihadapi dengan lapang dada, dan setiap kejahatan dibalas
dengan kebaikan.
“Sungguh aku butuh naungan seorang teman yang tetap jernih dan bening bila aku mengeruhkannya,” pekik Abul Atahiyah, sufi penyair terkenal di era Khalifah Harun ar-Rasyid (w. 211 H/ 828 M).
Ketika syair itu dikumandangkan oleh Mukhariq di hadapan al-Makmun, sang khalifah pun menyahut, “Wahai Mukhariq, ambil kekhalifahanku dan berikan teman ini kepadaku.”
Makmun Nawawi (ROL).
No comments:
Post a Comment
Sorry .....
Comments received will be moderated in advance. Suggestions, Criticism and rejection can you comments it during use wise words and not SARA contains elements or word- profanity, comments will displayed.
Thanks...